Jakarta, mediahukumnews.com – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi sorotan setelah menerima uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang perubahan ketiga atas UU BUMN.
Sidang yang mencuatkan pasal-pasal krusial itu menjadi titik temu antara klaim pemerintah soal efisiensi pengelolaan BUMN dan kekhawatiran publik atas pelebaran ruang pengaruh korporasi negara. Dokumen risalah sidang terbaru, memperlihatkan beberapa pasal yang diuji oleh pemohon dari kalangan masyarakat sipil dan akademisi, menandai sengketa konstitusional yang berpotensi mengubah tata kelola perusahaan negara.

Permasalahan inti bukan sekadar teknis korporasi. Perubahan pasal-pasal tertentu, berimplikasi pada prinsip pemisahan kepentingan negara dan kontrol publik, pengawasan akuntabilitas, serta mekanisme pengangkatan dan pemberhentian pengurus BUMN. Penguji materi menyorot ketidakjelasan mekanisme checks and balances yang menurut mereka, dapat membuka celah pelemahan akuntabilitas negara terhadap aset strategis. Pakar hukum dan beberapa pihak yang hadir di sidang memperingatkan, bahwa jika interpretasi pasal-pasal ini dibiarkan tanpa pembatasan konstitusional, dampaknya akan melampaui soal keuntungan bisnis, menyentuh kedaulatan kepentingan publik.
DPR yang mengesahkan RUU tersebut di rapat paripurna, mencatat tujuan reformasi struktural BUMN. Namun respons publik dan litigasi ke MK menunjukkan adanya jurang persepsi antara tujuan reformasi dengan implikasi demokratisnya.
Di sisi lain, korporasi dan pengamat bisnis menyambut beberapa ketentuan yang menjanjikan fleksibilitas pengelolaan. Sementara LSM dan akademisi menuntut penegasan mekanisme pengawasan, agar perubahan tak berubah menjadi kebijakan yang melemahkan kontrol publik atas aset strategis. Perdebatan ini tidak hanya soal hukum, melainkan juga penentu arah ekonomi politik jangka menengah.
MK akan menentukan apakah norma-norma baru itu sejalan dengan UUD 1945. Putusan MK bakal menjadi preseden penting untuk hubungan negara dan korporasi di Indonesia. ***