Jakarta, mediahukumnews.com – Kebijakan kenaikan tunjangan reses yang nilainya melonjak hampir dua kali lipat, dari sekitar 400 juta rupiah menjadi 702 juta rupiah per anggota per periode, dan sudah dimulai semenjak Mei 2025, menimbulkan gelombang kritik. Terlebih dengan rencana menaikan lagi ke angka 756 juta rupiah untuk bulan Oktober 2025 yang akhirnya dibatalkan. Kabar ini menyulut kemarahan publik, di tengah situasi ekonomi yang masih lesu dan biaya hidup yang terus meningkat.

Pemerintah dan Sekretariat Jenderal DPR berdalih, penyesuaian ini merupakan bentuk ‘standarisasi’ biaya reses di daerah pemilihan, dengan alasan meningkatnya harga logistik dan transportasi. Namun publik menilai, langkah ini dilakukan diam-diam, tanpa komunikasi yang transparan dan tanpa pembahasan publik sebagaimana seharusnya. Dalam konteks politik, ini bukan sekadar soal angka, melainkan soal kepercayaan.
Lebih jauh, kebijakan ini memperlihatkan problem klasik dalam tata kelola keuangan negara. Minimnya mekanisme pengawasan internal terhadap alokasi kesejahteraan pejabat publik. Ironisnya, di tengah janji efisiensi birokrasi, kenaikan tunjangan justru dilegalkan dengan alasan peningkatan kinerja. Padahal, hasil legislasi dan tingkat kehadiran anggota DPR dalam rapat-rapat resmi masih menjadi sorotan tajam publik.
Pertanyaan yang kini menggantung di ruang publik adalah, apakah kenaikan ini sekadar langkah administratif, atau simbol ketimpangan baru antara elite dan rakyat? Dalam politik, persepsi sering kali lebih kuat dari realitas. Dan jika kepercayaan publik terkikis, legitimasi lembaga akan ikut tergerus. ***