Hukum  

RUU Perampasan Aset: Antara Harapan Pemulihan Negara dan Kekhawatiran Kriminalisasi

Jakarta, mediahukumnews.com – Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali menjadi sorotan publik, setelah DPR dan pemerintah menegaskan komitmen untuk membahasnya dalam Prolegnas 2025. Regulasi ini disebut sebagai instrumen penting untuk mempercepat pemulihan kerugian negara akibat korupsi dan kejahatan ekonomi.

 

RUU yang digagas sejak 2003 ini, memungkinkan negara merampas aset hasil tindak pidana, tidak hanya korupsi, tetapi juga kasus lain dengan ancaman pidana minimal empat tahun. Mekanisme yang diusulkan bahkan mencakup non-conviction based forfeiture—perampasan aset meski pelaku belum divonis bersalah.

Sejumlah pihak mendukung penuh RUU ini sebagai terobosan hukum. Dengan adanya aturan khusus, proses pengembalian aset diharapkan lebih cepat dan tidak terganjal prosedur pidana yang panjang. RUU ini juga memperkuat komitmen Indonesia dalam Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC).

Namun, kritik keras muncul dari akademisi dan masyarakat sipil. ICW mengingatkan perlunya batasan tegas agar RUU tidak berubah menjadi alat kriminalisasi. Pakar hukum juga menyoroti potensi pelanggaran asas presumption of innocence jika mekanisme perampasan tanpa putusan pidana tidak diatur dengan ketat.

Selain itu, istilah “perampasan aset” dinilai terlalu agresif sehingga ada usulan mengubahnya menjadi “pemulihan aset” untuk mencerminkan semangat asset recovery yang lebih sesuai dengan hukum internasional.

Desakan publik agar RUU segera disahkan terus menguat. Mahasiswa dan aktivis menilai, aturan ini mendesak untuk memperbaiki rendahnya tingkat pemulihan aset negara selama ini. ***