Jakarta, mediahukumnews.com – Bank Indonesia (BI) resmi mempertegas arah keuangan nasional menuju sistem Central Bank Digital Currency (CBDC) melalui proyek Rupiah Digital. Inisiatif ini merupakan bagian dari Project Garuda, yang bertujuan mentransformasikan uang fisik menjadi instrumen digital berbasis teknologi blockchain.

CBDC versi Indonesia ini akan menjadi mata uang sah negara di ranah digital, digunakan untuk transaksi, sistem pembayaran, hingga lintas perbankan. Namun, di balik semangat modernisasi moneter, muncul bayangan baru, kekuatan penuh BI untuk memantau dan mengendalikan setiap aset digital masyarakat. Jika uang kertas bisa disembunyikan di dompet, Rupiah Digital hidup di jaringan yang seluruhnya diawasi. Ini membuka diskusi baru soal hak kepemilikan dan privasi finansial.
Teknologi yang digunakan bukan blockchain terbuka seperti Bitcoin atau Ethereum, melainkan Distributed Ledger Technology (DLT) yang bersifat permissioned. Artinya, hanya pihak otoritas seperti BI dan lembaga keuangan tertentu yang dapat mencatat, memvalidasi, dan mengakses transaksi.
Model ini memberi kecepatan dan efisiensi, serta menjamin keamanan data nasional. Namun, sifatnya yang terpusat justru menimbulkan ironi dimana teknologi desentralisasi kini digunakan dalam sistem yang sepenuhnya tersentralisasi. Setiap pergerakan dana terekam secara abadi di ledger, dan kontrol penuh ada pada regulator. Bagi sebagian pihak, ini kemajuan besar dalam pengawasan keuangan. Bagi pihak lainnya, ini adalah ‘mata uang transparan’ yang bisa berubah menjadi instrumen pengawasan total.

Rupiah Digital akan memiliki underlying asset berupa Surat Berharga Negara (SBN), menjadikannya stablecoin nasional yang didukung aset riil. Dengan struktur ini, BI menjamin kestabilan nilai dan memperkuat kedaulatan moneter. Namun sistem ini juga menimbulkan konsekuensi baru. Lantaran aset digital disimpan di jaringan BI, maka pembekuan atau penghapusan saldo digital bisa dilakukan secara langsung. Dalam konteks hukum, langkah ini bisa efektif mencegah kejahatan finansial. Tapi di sisi lain, membuka potensi penyalahgunaan kebijakan. Terutama jika kontrol digital dilakukan tanpa batas waktu atau mekanisme pengawasan publik yang jelas.
Rupiah Digital adalah langkah strategis untuk menjaga kedaulatan ekonomi Indonesia di tengah derasnya arus mata uang digital global. Namun ia juga mengubah hubungan antara negara dan warganya dalam urusan finansial.
Jika tak diatur secara transparan dan akuntabel, CBDC bisa bergeser dari inovasi menuju ‘instrumen kontrol’. Era uang digital menuntut bukan hanya kesiapan teknologi, tapi juga etika, perlindungan data, dan jaminan hukum bagi pemilik aset.
Pertanyaannya kini sederhana tapi fundamental, apakah Rupiah Digital akan memperkuat kebebasan finansial rakyat, atau justru mengubah uang menjadi alat kontrol negara di layar blockchain? ***

















