Jakarta, mediahukumnews.com – Gelombang protes besar yang terjadi Agustus 2025 lalu, kini memasuki babak baru dalam sorotan hukum internasional. Sejumlah pakar menilai, tindakan represif aparat mulai dari pemukulan, penangkapan sewenang-wenang, hingga penggunaan gas air mata berlebihan, tidak lagi sekadar “pengamanan massa”. Menurut Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), pola tersebut berpotensi memenuhi unsur penyiksaan yang dilarang secara mutlak oleh hukum internasional.

Laporan sejumlah lembaga HAM mengungkap bagaimana demonstran dipukul, ditahan berhari-hari tanpa akses hukum, hingga mengalami perlakuan kejam saat interogasi. Praktik ini, bila terbukti sistematis, bisa masuk kategori state violence yang melanggar kewajiban Indonesia sebagai negara penandatangan CAT. Dengan demikian, isu ini bukan hanya pelanggaran HAM domestik, tetapi juga menjadi persoalan hukum internasional yang serius.
Dilema muncul ketika pemerintah berkilah bahwa aparat hanya menjalankan tugas menjaga ketertiban. Namun, pakar hukum menegaskan bahwa setiap penggunaan kekerasan oleh negara harus sebanding dengan ancaman. Jika aparat justru mencederai warga yang mengekspresikan kebebasan berpendapat, maka tindakan itu bukan lagi “pengamanan”, melainkan bentuk penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi.
Kasus ini menempatkan Indonesia pada titik kritis yaitu antara memperkuat citra demokrasi, atau membiarkan praktik represif semakin dilegalkan. Pertanyaan publik kini mengemuka, apakah negara berani membuka penyelidikan independen, atau justru membiarkan luka demokrasi ini terkubur di balik alasan stabilitas? ***