Jakarta, mediahukumnews.com – Batas waktu kian menekan. Pemerintah dan DPR RI kini berpacu dengan tenggat 2 Januari 2026, saat KUHP baru mulai berlaku. Bersamaan dengan itu, revisi KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) menjadi keharusan agar proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan sejalan dengan sistem hukum baru. Namun di balik agenda legislatif itu, muncul ketegangan laten, apakah revisi KUHAP benar-benar akan memperkuat perlindungan hukum bagi rakyat, atau justru memperluas kekuasaan aparat.

Polemik terbesar muncul dari beberapa pasal penting, perluasan kewenangan penyadapan tanpa izin pengadilan, pembatasan waktu pemeriksaan yang dianggap terlalu singkat, hingga pengakuan alat bukti digital yang rentan disalahgunakan. Kelompok masyarakat sipil menilai revisi ini bisa memperlemah prinsip due process of law—sebuah fondasi bahwa setiap orang berhak atas proses hukum yang adil. Sementara pihak pemerintah berdalih, pembaruan KUHAP justru untuk “menyesuaikan dengan dinamika digital dan ancaman kejahatan modern.” Namun di era yang serba terekam, siapa yang benar-benar diawasi? Penjahat atau rakyat?
Masalah lain muncul pada kesiapan lembaga penegak hukum. Di tengah beban kasus yang menumpuk dan infrastruktur digital yang belum merata, aparat bisa terjebak dalam tumpang-tindih sistem lama dan baru. Jika revisi KUHAP diterapkan tanpa kesiapan teknis, bukan hanya keadilan yang tertunda, tapi bisa juga tergelincir menjadi kekacauan prosedural. Praktisi hukum khawatir, KUHAP baru justru melahirkan era “super prosecutor” di mana jaksa dan penyidik punya kuasa yang hampir absolut di balik dalih efisiensi.
Revisi KUHAP seharusnya menjadi simbol kebangkitan hukum Indonesia yang adil, transparan, dan beradab. Tapi tanpa pengawasan publik yang kuat, reformasi hukum bisa berubah jadi instrumen kekuasaan. Masyarakat kini menunggu bukan sekadar undang-undang baru, tapi bukti bahwa negara masih berpihak pada keadilan, bukan pada kekuasaan. Tahun 2026 akan menjadi ujian, apakah hukum akan tetap menjadi pagar bagi rakyat, atau tembok bagi yang berkuasa. ***