Perjanjian Pukpuk Australia dan Papua New Guinea, babak baru strategi halus (ilustrasi mediahukumnews.com)
Jakarta, mediahukumnews.com – Australia dan Papua Nugini (PNG) resmi menandatangani Perjanjian Pertahanan Pukpuk pada 6 Oktober 2025. Langkah strategis dua negara tersebut menandai babak baru kemitraan militer di Pasifik Selatan.
Kesepakatan yang telah tercapai, menjanjikan kerja sama logistik, latihan bersama, dan saling bantu jika salah satu negara menghadapi ancaman eksternal. Dengan perjanjian ini, Canberra memiliki potensi untuk menempatkan pasukan hingga wilayah utara PNG. Hanya beberapa ratus kilometer dari perbatasan Indonesia. Banyak pengamat menilai, ini adalah cara halus Australia untuk menyeimbangkan pengaruh Tiongkok yang kian aktif di Pasifik.
Namun, perjanjian yang diluncurkan dengan penuh simbol persahabatan itu, segera memicu reaksi di kawasan Indonesia. Kementerian Luar Negeri Indonesia menyampaikan agar Australia dan PNG ‘menghormati kedaulatan dan integritas wilayah negara-negara tetangga.’ Pernyataan ini dianggap sebagai sinyal diplomatik, bahwa Jakarta ingin memastikan tidak ada aktivitas militer di wilayah yang berdekatan dengan Papua, tanpa konsultasi terlebih dahulu. Hubungan bilateral Indonesia–Australia memang kerap diwarnai dinamika kepercayaan, terutama menyangkut isu pertahanan dan operasi intelijen di kawasan Timur.
Perjanjian Pukpuk Australia dan Papua New Guinea, babak baru strategi halus (ilustrasi mediahukumnews.com)
Dari sisi geopolitik, Perjanjian Pukpuk menjadi refleksi nyata pergeseran arsitektur keamanan Indo-Pasifik. Setelah AUKUS dan kerjasama trilateral lainnya, Australia kini memperluas jaringan militernya ke Papua Nugini. Sebuah langkah yang dapat memperkuat pengaruh Barat di Pasifik, namun juga menimbulkan kegelisahan di negara-negara ASEAN. Menurut analis pertahanan Universitas Sydney, Dr. Peter Haines, “Australia sedang membangun sabuk pertahanan strategis dari Darwin hingga Port Moresby, dan itu menempatkan Indonesia di posisi pengamat yang waspada.”
Pertanyaannya kini bukan sekadar tentang isi traktat, tetapi bagaimana ia akan diterjemahkan di lapangan. Jika pelaksanaannya transparan dan berbasis dialog terbuka, perjanjian ini dapat memperkuat stabilitas kawasan. Tetapi jika PNG dijadikan perpanjangan tangan kekuatan militer luar, maka ketegangan di perbatasan bisa meningkat. Dalam konteks ini, Indonesia dihadapkan pada dilema klasik yaitu menjaga hubungan baik dengan Australia, sembari tetap memastikan keamanan nasional di wilayah paling sensitifnya.
Indo-Pasifik semakin padat oleh kesepakatan pertahanan. Dan setiap langkah baru, termasuk Perjanjian Pukpuk, layak dibaca bukan hanya sebagai perjanjian, tetapi juga sebagai pesan politik. ***