Jakarta, mediahukumnews.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Arso Sadewo, Komisaris Utama PT Inti Alasindo Energy (IAE), sebagai tersangka dalam kasus dugaan jual-beli gas yang merugikan keuangan negara hingga miliaran rupiah. Kasus ini membuka tabir gelap industri energi yang selama ini disebut-sebut menjadi ladang transaksi gelap antara pejabat dan pelaku usaha. KPK menyebut, penyidikan tidak berhenti pada satu nama, melainkan menelusuri jaringan perantara dan aliran dana yang terhubung ke sejumlah korporasi besar di sektor gas nasional.

Praktik korupsi di sektor energi bukan hal baru. Pengawasan yang longgar, birokrasi izin yang berbelit, serta lemahnya integritas pejabat menjadi kombinasi sem‎purna bagi permainan harga dan distribusi gas. Dalam kasus IAE, skema diduga berjalan melalui manipulasi kontrak dan pemanfaatan celah hukum dalam sistem pengadaan. Hal ini menegaskan kembali peringatan lama bahwa korupsi di sektor energi tidak sekadar soal suap, tetapi tentang siapa yang menguasai akses terhadap sumber daya negara.
Publik menyoroti bagaimana kasus ini mencerminkan rapuhnya sistem tata kelola energi nasional. Di saat pemerintah gencar membangun citra bersih dan efisien, praktik seperti ini justru meruntuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga pengawasan. Akademisi hukum menilai, kasus gas IAE menjadi ujian bagi KPK untuk menunjukkan taringnya di tengah kritik bahwa penegakan hukum kini kehilangan arah dan keberanian.
Lebih dari sekadar kasus individu, korupsi gas adalah simbol ketimpangan antara kekuasaan ekonomi dan hukum. Saat sumber daya alam dijadikan komoditas politik, kepentingan publik sering kali terpinggirkan. Reformasi tata kelola energi harus melampaui penindakan, menyentuh akar kebijakan, dan menutup celah yang memungkinkan kongkalikong berulang. KPK telah menyalakan kembali api pengawasan, namun nyala itu hanya akan berarti jika pemerintah berani membersihkan sistem hingga ke akarnya. ***


















