Jakarta, mediahukumnews.com – Indonesia adalah negara dengan ratusan perjanjian internasional aktif. Perjanjian dengan isu pertahanan, lingkungan, hingga perdagangan. Sayangnya, sebagian besar publik tak tahu bagaimana perjanjian-perjanjian itu disahkan.
Di balik naskah diplomatik dan foto penandatanganan, tersembunyi proses ratifikasi yang ruwet, tumpang tindih, dan sering kali tanpa transparansi. Banyak perjanjian strategis justru mandek karena tarik-menarik politik antar lembaga, siapa yang berwenang menyetujui, Kementerian Luar Negeri, Presiden, atau DPR?
Kelemahan utama terletak pada kerangka hukum nasional. UU nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang sudah dua dekade lebih tidak direvisi, belum sepenuhnya menyesuaikan dengan praktik treaty-making modern. Indonesia belum memiliki mekanisme publikasi terbuka atau konsultasi publik sebelum perjanjian diratifikasi. Padahal konvensi internasional seperti Vienna Convention on the Law of Treaties menuntut keterbukaan dan akuntabilitas. Akibatnya, banyak perjanjian berjalan tanpa pengawasan publik, dan berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum maupun fiskal yang tidak diketahui rakyat.

Dalam prakteknya, proses ratifikasi sering kali menjadi arena politik tersendiri. Perjanjian yang bersifat sensitif seperti pertahanan atau investasi asing, bisa ditunda berbulan-bulan di DPR karena pertimbangan non-hukum. Bahkan, sejumlah perjanjian yang sudah ditandatangani secara resmi oleh pemerintah Indonesia di forum internasional akhirnya tidak pernah diratifikasi dan menyebabkan kekosongan hukum yang membingungkan mitra luar negeri. Di sisi lain, ada pula perjanjian yang langsung berlaku tanpa persetujuan legislatif, sehingga menimbulkan pertanyaan, di mana batas kontrol demokrasi?
Pertanyaan besar yang kemudian timbul yaitu, apakah Indonesia siap memperbarui tata kelola perjanjiannya di tengah arus global yang makin cepat? Ratifikasi bukan sekadar tanda tangan di atas kertas, namunĀ janji hukum yang mengikat negara di mata dunia. Jika prosesnya masih dibiarkan kabur dan elitis, maka Indonesia berisiko kehilangan kredibilitas sebagai negara hukum yang menghormati kesepakatan internasional. Reformasi UU Perjanjian Internasional menjadi mendesak, bukan hanya demi kepastian hukum, tapi juga demi menjaga kehormatan republik di panggung global. ***