Jakarta, mediahukumnews.com — Bursa Efek Indonesia (BEI) tampaknya sedang menutup tahun dengan langkah besar. Tercatat hingga awal November, terdapat 13 calon emiten yang berada dalam pipeline pencatatan saham perdana, dengan tiga di antaranya masuk kategori “lighthouse Initial Public Offering (IPO)” — istilah bagi perusahaan berskala besar yang diharapkan mampu menarik modal asing dan memperdalam pasar modal nasional.

Dari data yang dihimpun BEI (6 November 2025), tiga sektor dominan yang siap masuk bursa adalah keuangan, infrastruktur, dan pertambangan nikel. Di antaranya, PT Anugrah Neo Energy Materials (ANEM) disebut sebagai calon IPO terbesar pada penghujung 2025. Emiten di sektor hilirisasi nikel ini dikabarkan menargetkan penggalangan dana mencapai 5 triliun rupiah, menjadikannya salah satu aksi korporasi paling dinantikan setelah gelombang IPO energi di kuartal ketiga.
Tak hanya itu, BEI juga mengonfirmasi bahwa minimal tiga perusahaan akan resmi melantai sebelum tutup tahun. Salah satunya dikabarkan berasal dari sektor perbankan digital, dengan valuasi di atas 10 triliun rupiah. Lainnya adalah perusahaan infrastruktur energi terbarukan yang sedang merampungkan prospektusnya, serta satu perusahaan tambang yang tengah menyelesaikan due diligence di OJK.
Gelombang IPO menjelang akhir tahun ini tak sekadar menunjukkan geliat pasar modal, namun juga menandakan pulihnya kepercayaan global terhadap fundamental ekonomi Indonesia. Setelah BPS merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga 2025 sebesar 5,04 persen (5 November 2025) dan realisasi investasi mencapai 491,4 triliun rupiah (BKPM, 3 November 2025), banyak investor asing mulai kembali melihat Jakarta sebagai pusat likuiditas baru di kawasan.
Sebagai informasi, di sepanjang tahun ini, telah tercatat lima lighthouse IPO, yaitu PT Raharja Energi Cepu Tbk (RATU), PT Bangun Kosambi Sukses Tbk (CBDK), PT Yupi Indo Jelly Gum Tbk (YUPI), PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA), serta PT Merdeka Gold Resources Tbk (EMAS).
Meski demikian, sejumlah analis mengingatkan bahwa antusiasme pasar terhadap IPO jumbo perlu dibarengi dengan kehati-hatian. Masuknya beberapa perusahaan besar secara bersamaan, berpotensi menggerus likuiditas jangka pendek, terutama jika daya serap investor ritel belum siap. Namun secara struktural, fenomena ini menandai pergeseran fase pasar modal Indonesia. Dari fase ekspansi menuju konsolidasi institusional, di mana investor besar dan sovereign fund mulai mengambil peran utama.

Bila semua jadwal IPO ini terealisasi sebelum akhir Desember 2025, maka tahun ini akan ditutup dengan capaian lebih dari 70 perusahaan baru yang listing di BEI, jumlah tertinggi dalam lima tahun terakhir. Melampaui capaian 65 emiten baru pada 2022. Sebuah catatan optimistik, bahwa kepercayaan, meski rapuh, tetap bisa menjadi fondasi kokoh bagi pasar yang matang. ***
















