Jakarta, mediahukumnews.com – Asia tengah menyaksikan kebangkitan politik generasi muda yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dari jalanan Jakarta hingga lapangan di Dhaka dan Kolombo, generasi Z bangkit melawan sistem yang dianggap korup, tertutup, dan usang. Dengan semangat digital dan solidaritas lintas negara, mereka tidak lagi sekadar menuntut perubahan—mereka menyerbu ruang kekuasaan yang selama ini dikuasai elit lama. Di Indonesia, suara anak muda makin lantang menuntut transparansi politik, reformasi hukum, dan ruang partisipasi nyata dalam pemerintahan.

Fenomena ini bukan hanya soal perlawanan, tapi soal transformasi nilai politik di Asia. Generasi Z dikenal lebih egaliter, berani menantang status quo, dan mengandalkan media sosial untuk mengguncang sistem yang mapan. Di Bangladesh, aksi protes menumbangkan kabinet lama. Di Sri Lanka, tekanan Gen Z mendorong reformasi ekonomi darurat. Sementara di Indonesia, narasi “politik bersih dan berani” mulai menggeser cara partai lama memoles citranya.
Namun, kebangkitan ini juga memunculkan kekhawatiran. Para pengamat menilai bahwa antusiasme besar tanpa arah politik yang jelas bisa melahirkan kekosongan kepemimpinan baru. Beberapa gerakan muda bahkan dituduh disusupi kepentingan politik tertentu. Tapi di sisi lain, tekanan publik yang dibangun Gen Z telah memaksa banyak pemerintah Asia membuka ruang dialog, transparansi data publik, hingga pembenahan sistem digital governance.
Kini, dunia menatap Asia bukan hanya sebagai pusat ekonomi baru, tapi juga pusat revolusi politik muda. Gelombang perubahan yang digerakkan Gen Z menjadi bukti bahwa masa depan demokrasi tidak lagi lahir dari ruang parlemen, melainkan dari layar ponsel, ruang komunitas, dan aksi solidaritas lintas batas. Dari Jakarta ke Dhaka, dari Seoul ke Kathmandu—suara mereka menjadi gema baru bahwa politik bukan warisan, tapi hak untuk diperjuangkan. ***