Jakarta, mediahukumnews.com- Desentralisasi fiskal, yang sejak dua dekade terakhir menjadi fondasi kemandirian daerah di Indonesia, kini menghadapi ujian besar. Pemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan resmi merencanakan pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) dalam APBN 2026 menjadi sekitar 693 triliun rupiah, turun tajam dari realisasi 2025 yang mencapai 919 triliun rupiah.

Langkah ini menimbulkan guncangan di berbagai pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Terutama yang sangat bergantung pada dana perimbangan pusat. Beberapa kepala daerah menyebut kebijakan ini sebagai ‘alarm bahaya’ bagi keberlanjutan otonomi fiskal. Belanja wajib seperti pendidikan dan kesehatan sulit dijalankan tanpa dukungan anggaran yang cukup.
Di sisi lain, pemerintah pusat berargumen bahwa kebijakan ini perlu diambil untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi dana mengendap di kas daerah yang selama ini dinilai tidak terserap optimal. Namun pertanyaan besar pun muncul, apakah kebijakan ini merupakan langkah menuju efisiensi fiskal, atau justru tanda bahwa Indonesia tengah bergerak kembali ke arah resentralisasi kekuasaan ekonomi?
Sejak reformasi 1999, desentralisasi fiskal dirancang untuk mendekatkan pembangunan kepada rakyat. Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) menjadi tiga instrumen utama yang menjamin pemerataan pembangunan antarwilayah.
Namun, fakta di lapangan menurut riset KPPOD dan Neraca Institute, menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen APBD di 75 persen daerah, masih bergantung pada TKD. Artinya, sebagian besar daerah belum mampu berdiri di atas kaki sendiri melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pemangkasan dana transfer tanpa dibarengi penguatan kapasitas daerah berisiko memperlebar ketimpangan fiskal. Daerah yang sudah kuat secara ekonomi seperti DKI Jakarta, Jawa Timur, atau Bali, mungkin mampu beradaptasi. Sementara daerah tertinggal seperti NTT, Maluku, atau Papua akan semakin kesulitan membiayai pelayanan dasar.
Kementerian Keuangan beralasan, bahwa pemangkasan TKD 2026 dilakukan karena terdapat lebih dari 170 triliun rupiah dana pemerintah daerah yang mengendap di bank per September 2025. Dana ini dinilai menunjukkan lemahnya perencanaan dan serapan anggaran.
Namun, para kepala daerah justru menilai alasan tersebut terlalu simplistis. Serapan rendah bukan karena malas, tetapi karena regulasi pusat yang tumpang tindih. Banyak program daerah harus menunggu sinkronisasi dengan kementerian, menyebabkan keterlambatan pencairan dan akumulasi saldo kas.
Kondisi ini menggambarkan paradoks, pemerintah pusat menuduh daerah tidak efisien, sementara daerah merasa diikat oleh birokrasi pusat yang rumit. Maka, yang muncul bukan sinergi fiskal, melainkan tarik-menarik kepentingan yang justru melemahkan semangat desentralisasi itu sendiri.
Efek domino kebijakan ini mulai terasa di ekonomi lokal. Pengusaha daerah, terutama UMKM, mengaku mulai menahan ekspansi karena program bantuan dan pengadaan dari pemerintah daerah terancam tertunda. Belanja pemerintah daerah selama ini menjadi salah satu penggerak utama ekonomi lokal.
Bank Indonesia bahkan memperingatkan bahwa perlambatan realisasi belanja daerah bisa memangkas pertumbuhan ekonomi regional hingga 0,3–0,5 poin persen pada kuartal pertama 2026. Jika kondisi ini berlanjut, maka tujuan pemerataan ekonomi nasional akan terganggu, dan kesenjangan antar-wilayah bisa melebar.
Sektor publik pun ikut terguncang. Sejumlah daerah mulai menunda perekrutan ASN, memangkas kegiatan sosial, bahkan menahan proyek infrastruktur berskala kecil. Hal ini menguatkan kekhawatiran bahwa pemangkasan fiskal tanpa desain kompensasi jelas dapat mengarah pada kemunduran otonomi ekonomi daerah.
Para ekonom sepakat bahwa desentralisasi tidak boleh hanya berorientasi pada distribusi dana. Tetapi juga pada distribusi tanggung jawab dan akuntabilitas.
Solusi jangka menengah yang kini banyak diusulkan adalah, insentif fiskal berbasis hasil (outcome-based transfer), di mana daerah yang berhasil meningkatkan PAD, menurunkan kemiskinan, atau mempercepat pembangunan infrastruktur akan mendapatkan tambahan transfer pusat.
Selain itu, pemerintah pusat didorong untuk menyederhanakan regulasi lintas kementerian, agar daerah tidak terhambat dalam menyerap anggaran. Transparansi, digitalisasi keuangan daerah, dan peningkatan kapasitas SDM juga menjadi kunci agar desentralisasi tidak hanya simbolik. Tetapi benar-benar efektif mendorong kemandirian ekonomi
Dua puluh lima tahun setelah reformasi, semangat desentralisasi masih menjadi cita-cita yang belum tuntas. Indonesia memang tidak bisa menutup mata terhadap kebutuhan efisiensi fiskal, tetapi langkah efisiensi tidak boleh mengorbankan prinsip pemerataan dan otonomi daerah.
Desentralisasi seharusnya bukan hanya alat politik, tetapi juga strategi ekonomi jangka panjang untuk membangun kemandirian, inovasi, dan partisipasi publik dari bawah.
Jika pemangkasan dana tidak disertai strategi penguatan kapasitas daerah, maka otonomi yang selama ini dibanggakan, bisa berubah menjadi sekadar ilusi administratif. Di mana semua kebijakan tetap ditentukan dari Jakarta, sementara daerah hanya menjadi pelaksana dengan ruang gerak yang semakin sempit.
Masa depan desentralisasi ekonomi Indonesia kini bergantung pada seberapa jauh pusat dan daerah mampu membangun kepercayaan fiskal bersama, bukan saling curiga atas efisiensi yang semu. ***

















