Jakarta, mediahukumnews.com – Ketika tenaga kerja asing datang membawa investasi, ternyata ada ‘pajak tak resmi’ yang ikut ditarik dari balik meja birokrasi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja menetapkan Hery Sudarmanto, mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, sebagai tersangka baru dalam dugaan pemerasan pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA).

Nilai yang beredar mengejutkan, 53,7 miliar rupiah untuk periode 2019 hingga 2024. Kasus ini menyingkap kembali wajah kelam birokrasi, di mana kewenangan administratif berubah menjadi ladang pungli berjamaah.
Namun lebih dari sekadar angka, kasus ini menyoroti paradoks dalam sistem ketenagakerjaan nasional. Di satu sisi, pemerintah membuka pintu bagi tenaga kerja asing demi investasi dan transfer teknologi, namun di sisi lain, ada celah hukum dan moral yang justru dimanfaatkan oknum pejabat. Mekanisme RPTKA seharusnya menjadi alat kontrol yaitu menjamin tenaga asing hanya masuk sesuai kebutuhan. Tapi kini, mekanisme itu sendiri menjadi komoditas, dijual kepada siapa pun yang mampu membayar.
KPK memang sudah berulang kali menyentuh Kemenaker, namun publik tahu pola lama itu belum benar-benar hilang. Praktik pemerasan dalam perizinan, baik lewat ‘sumbangan wajib’ atau ‘biaya pengurusan cepat’ atau ‘jatah atasan’ seolah menjadi tradisi yang sulit diputus. Hery Sudarmanto hanyalah satu nama di permukaan. Pertanyaan yang lebih dalam lagi, berapa banyak keputusan administratif lain yang mungkin telah lahir dari tekanan uang, bukan hukum?
Kasus ini menantang keseriusan reformasi birokrasi Indonesia. Bukan sekadar soal menambah pasal korupsi, tapi menata ulang sistem izin dan tanggung jawab jabatan publik, agar tak ada lagi ruang gelap bagi pemerasan berlapis legitimasi. Ketika setiap tanda tangan bisa dikonversi menjadi rupiah, maka hukum kehilangan maknanya. Di sinilah KPK tak sekadar menegakkan pidana. Melainkan juga harus mengembalikan kepercayaan‍ masyarakat, bahwa negara ini masih bisa melindungi warganya dari pejabatnya sendiri. ***


















