Guncangan di Perut Bumi, Kuota Tambang Dipangkas Jadi 1 Tahun — Investor Mulai Ketar-Ketir

Ilustrasi kuota produksi tambang (mediahukumnews.com)

Jakarta, mediahukumnews.com – Langkah pemerintah Indonesia memangkas masa berlaku kuota produksi tambang dari tiga tahun menjadi hanya satu tahun menimbulkan riak besar di sektor pertambangan. Kebijakan yang diumumkan awal Oktober ini, disebut sebagai upaya untuk memperketat kontrol negara atas produksi komoditas strategis seperti nikel, tembaga, dan batu bara. Pemerintah berdalih, masa berlaku pendek akan mempermudah penyesuaian terhadap fluktuasi harga global dan memastikan setiap izin berbanding lurus dengan kapasitas produksi nasional yang realistis.

Namun di sisi lain, pelaku usaha menilai kebijakan ini sebagai bentuk ketidakpastian baru yang bisa menakuti investor. Beberapa asosiasi pertambangan menilai, izin satu tahun terlalu pendek untuk menghitung return on investment proyek berskala besar. Bagaimana bisa menanam investasi jangka panjang jika izin dasarnya harus diperpanjang setiap tahun sehingga menimbulkan ketegangan dan ini menunjukkan tarik-menarik abadi antara keinginan negara untuk menguasai sumber daya alam dan tuntutan kepastian bisnis di era global.

Ilustrasi kuota produksi tambang (mediahukumnews.com)

Dalam konteks ekonomi makro, kebijakan ini berpotensi memicu efek berantai. Produksi tambang bisa tersendat, ekspor menurun, dan pendapatan devisa negara terguncang. Di tengah kebutuhan pembiayaan APBN yang tinggi dan ambisi hilirisasi industri, kebijakan kontrol semacam ini bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi menegaskan kedaulatan sumber daya, tapi di sisi lain menahan laju investasi asing yang dibutuhkan untuk transformasi ekonomi nasional.

Langkah ini mengisyaratkan babak baru hubungan antara negara dan korporasi tambang. Pemerintah tampaknya ingin menunjukkan bahwa era “carte blanche” bagi pengusaha tambang sudah selesai. Setiap izin kini akan diukur secara ketat, tahun demi tahun. Namun, jika kontrol berubah menjadi ketidakpastian, Indonesia bisa saja kehilangan daya saing di tengah perebutan modal global. Pertanyaannya adalah, apakah pengawasan tahunan ini akan melahirkan industri tambang yang lebih tertib, atau justru membuka pintu baru bagi negosiasi dan lobi di belakang meja? ***