Jakarta, mediahukumnews.com – Indonesia kini berada di tengah pusaran persaingan global antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia: Amerika Serikat dan Tiongkok. Bukan lagi soal militer atau politik, tetapi tentang siapa yang lebih dominan dalam menguasai masa depan energi bersih di Asia Tenggara.

Selama beberapa tahun terakhir, investasi Tiongkok dalam industri energi terbarukan Indonesia—mulai dari pembangkit listrik tenaga surya, kendaraan listrik, hingga baterai litium—menjadi jauh lebih besar ketimbang AS. Kehadiran perusahaan-perusahaan raksasa asal Negeri Tirai Bambu terlihat nyata di Morowali, Halmahera, hingga Sulawesi, di mana tambang nikel dan smelter menjadi jantung rantai pasok kendaraan listrik global.
Namun, Washington tidak tinggal diam. Lewat kebijakan Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) dan tawaran pendanaan “hijau”, AS berusaha menarik Indonesia agar tidak sepenuhnya bergantung pada Tiongkok. Pertarungan ini tidak hanya soal ekonomi, tetapi juga tentang pengaruh geopolitik: siapa yang lebih dipercaya Jakarta untuk menjadi mitra strategis dalam transisi energi menuju net-zero emission 2060.
Di sisi lain, Indonesia menghadapi dilema besar. Ketergantungan pada modal Tiongkok memberi keuntungan percepatan pembangunan, tapi juga menimbulkan risiko dominasi asing yang sulit dikendalikan. Sementara tawaran AS menjanjikan diversifikasi dan standar lingkungan lebih tinggi, namun sering terhambat oleh birokrasi dan ketidakpastian politik. Pertanyaan besarnya: mampukah Indonesia memainkan peran ganda, atau justru terjebak dalam perang dingin energi hijau? ***