Jakarta, mediahukumnews.com – DPR baru saja mengesahkan revisi KUHAP, menjadikannya sebagai undang-undang baru yang akan menggantikan KUHAP lama. Langkah ini dinilai sebagai pembaruan penting, karena menyiapkan landasan hukum formal sebelum diberlakukannya KUHP baru pada Januari 2026.
Namun, di balik euforia reformasi, muncul kekhawatiran bahwa perubahan ini memberi otoritas aparat lebih besar dalam menangani tersangka sebelum adanya kepastian suatu tindak pidana.

Civil society dan lembaga pembela HAM memperingatkan, bahwa beberapa ketentuan KUHAP baru, bisa membuka pintu untuk penangkapan, penahanan, penggeledahan, serta penyitaan tanpa persetujuan awal pengadilan. Kritik ini bukan tanpa dasar lantaran aturan semacam ini, dikhawatirkan bisa memperbesar risiko penyalahgunaan kekuasaan, entrapment, atau pemaksaan restorative justice sebagai jalan damai yang melonggarkan tekanan hukum bagi pelaku.
Di sisi lain, pembuat undang-undang dan pendukung revisi menegaskan, bahwa KUHAP baru justru meningkatkan perlindungan hak-hak warga. Misalnya, setelah tersangka ditahan, interogasi wajib direkam CCTV untuk mencegah penyiksaan; ada ketentuan khusus untuk kelompok rentan (perempuan, penyandang disabilitas) untuk mendapat pendamping hukum. Selain itu, KUHAP ini memperkuat akses advokat dalam proses penyidikan dan memperjelas prosedur penyitaan dan eksekusi harta.
Dengan disahkannya KUHAP baru, Indonesia memasuki fase penting dalam reformasi penegakan hukum. Namun juga sekaligus menghadapi dilema demokrasi. Seberapa jauh negara boleh menggunakan kekuasaan preventif tanpa melemahkan asas praduga tak bersalah? Keputusan ini bisa menjadi pisau bermata dua. Bila dijalankan secara adil, KUHAP baru bisa memperkuat keadilan. Tetapi bila disalahgunakan, bisa memicu pelanggaran HAM masif. ***


















