Jakarta, mediahukumnews.com – Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yangon kembali mengonfirmasi sedikitnya 148 warga negara Indonesia (WNI) menjadi korban perdagangan manusia di wilayah Myawaddy, Myanmar, pada awal November 2025. Mereka ditemukan di beberapa kompleks “scam centre” yang dikendalikan sindikat lintas negara di perbatasan Thailand dan Myanmar, termasuk area terkenal seperti KK Park.
Para korban dijanjikan pekerjaan bergaji tinggi sebagai staf online marketing, tetapi akhirnya dipaksa menjalankan operasi penipuan daring dalam kondisi kerja paksa dan ancaman kekerasan.
Modus perdagangan manusia kini tidak lagi berbentuk klasik. Sindikat memanfaatkan rekrutmen daring, memikat korban dengan iming-iming kerja legal ke luar negeri, lalu menyelundupkannya ke zona abu-abu Myawaddy. Wilayah yang sebagian dikuasai kelompok bersenjata serta minim pengawasan hukum. Di lokasi itu, para korban dipaksa menjalankan skema penipuan investasi dan love scam internasional. Bekerja belasan jam per hari tanpa upah dan tanpa izin keluar. Pola baru ini menandai era cyber-trafficking, di mana perdagangan manusia dan kejahatan digital menyatu dalam satu industri gelap bernilai miliaran dolar.

Pemerintah Indonesia telah memulangkan lebih dari 3.000 WNI dari kawasan berisiko sejak awal 2025, namun hanya sebagian kecil yang berhasil diidentifikasi secara hukum sebagai korban TPPO. Laporan US Trafficking in Persons Report 2025 mencatat ada 314 korban yang diverifikasi, menandakan masih lemahnya mekanisme penegakan lintas negara. Tantangan terbesar bukan lagi sekadar penyelamatan, tetapi menembus batas yurisdiksi, karena sebagian besar pelaku beroperasi di wilayah konflik dan menggunakan identitas digital palsu untuk menutupi jejak keuangan.
Kasus Myawaddy memperlihatkan wajah baru perdagangan manusia: modern, terorganisir, dan tersamarkan dalam jaringan digital global. Negara kini dituntut tidak hanya hadir saat repatriasi, tetapi juga membangun sistem deteksi dini dan peringatan publik terhadap iklan kerja daring yang mencurigakan. Tanpa strategi pencegahan berbasis teknologi dan diplomasi keamanan regional, maka janji pekerjaan yang tampak sah di layar ponsel akan terus menjadi pintu menuju perbudakan modern. Publik, media, dan pemerintah harus bersinergi. Bukan sekadar memberitakan tragedi, tetapi memastikan rantai kejahatan ini benar-benar terputus. ***


















