Hukum  

ICJ Wajibkan Negara Lindungi Iklim, Hukum Internasional dan Tanggung Jawab Global

Deforestasi di Kaltim (Dok. AFP 2023)

Jakarta, mediahukumnews.com – Pada 23 Juli 2025, Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) di Den Haag mengeluarkan opini konsultatif bersejarah yang menetapkan bahwa negara memiliki kewajiban hukum internasional untuk mencegah dan mengurangi dampak perubahan iklim.

Putusan ICJ ini lahir dari permintaan Majelis Umum PBB dan menjadi fondasi baru bagi tata hukum dunia. Untuk pertama kalinya, kelalaian negara dalam menanggulangi emisi atau melindungi ekosistem dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum internasional. Isu yang sebelumnya hanya dianggap moral kini resmi naik derajat menjadi kewajiban hukum global.

Sejak opini itu dikeluarkan, gaungnya menggema di banyak forum internasional. Negara-negara pulau kecil di Pasifik dan Karibia seperti Vanuatu, Tuvalu, serta Fiji menyebut keputusan ICJ sebagai kemenangan sejarah. Mereka mulai menyiapkan langkah hukum terhadap negara-negara penghasil emisi besar. Sejumlah kelompok advokat lingkungan di Eropa pun mengajukan uji materi berbasis ICJ opinion di pengadilan domestik, menuntut pemerintah mereka memperketat target emisi.

Meski opini ICJ bersifat advisory dan belum mengikat secara langsung, tekanan politik dan reputasi mulai terasa. Bank Dunia, IMF, dan beberapa forum G-20 kini memasukkan klausul tanggung jawab iklim lintas-negara, sebagai bahan evaluasi kebijakan pinjaman. Dunia tampak bergerak. Perlahan namun nyata.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, opini ICJ membuka peluang sekaligus tantangan besar. Di satu sisi, Indonesia bisa menggunakan putusan ini sebagai dasar diplomasi global untuk menuntut negara maju agar bertanggung jawab atas kerusakan iklim yang memukul sektor agraris dan pesisir. Namun di sisi lain, sorotan juga diarahkan ke dalam negeri dimana deforestasi, ekspansi tambang, dan kebijakan energi fosil kini berpotensi menjadi sorotan hukum internasional.

Deforestasi di Kaltim (Dok. AFP 2023)

Artinya, ICJ bukan hanya menegur negara besar, tetapi juga memberi sinyal bahwa tidak ada negara yang kebal terhadap kewajiban lingkungan. Keadilan iklim kini menuntut konsistensi, bukan sekadar komitmen di atas kertas.

Perkembangan setelah Juli 2025 menunjukkan satu hal penting, bahwa dunia mulai memperlakukan bumi sebagai subjek hukum. Dari Den Haag hingga Pasifik, wacana “reparasi iklim” kini dibahas bukan lagi dalam seminar, melainkan di meja perundingan. Walau belum ada negara yang dijatuhi hukuman langsung, pondasinya sudah terbentuk. Planetary justice mulai hidup di bawah hukum internasional.

Pertanyaannya kini bukan lagi, ‘apakah negara akan bertindak’ melainkan ‘seberapa jauh dunia berani menuntut pertanggungjawaban hukum atas kelalaian iklim’. Dan ketika hukum sudah berbicara untuk bumi, sejarah baru umat manusia pun resmi dimulai. ***